DUALISME PEMBAGIAN WARISAN ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN KUH PERDATA
Andoko, SH.I., M.Hum
Abstract
Dalam pembagian harta warisan anak laki-laki dan perempuan adalah selalu ingin menuju pada keadilan, tanpa mendiskriminasikan antara laki-laki dan perempuan. Dalam hukum Islam, tentang pembagian warisan telah ditetapkan dalam Q.S an-Nisaa’ [4] ayat 11, khususnya tentang pembagian warisan anak laki-laki dan perempuan. Ketentuan yang terdapat dalam hukum Islam ini berbeda dengan ketetapan yang telah diatur dalam KUH Perdata. Namun, ketetapan waris dalam hukum Islam sudah menjadi undang-undang yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam yang sudah diterapkan di Indonesia bagi yang beragama Islam.
Pada realitanya, banyak orang yang beragama Islam yang menganggap pembagian warisan anak laki-laki dan perempuan dalam Hukum Islam belum bersifat adil, dan mereka lebih memilih dalam menyelesaikan pembagian warisan tersebut sesuai dengan KUH Perdata. Pemerintahan Hindia Belanda dan berdasarkan politik hukum pada masa itu, penggolongan penduduk melalui Indische Staatsregeling (IS), dalam Pasal 131 dan kemudian Pasal 163 secara normatif eksplisit mengatur tentang adanya pembagian golongan penduduk di Hindia Belanda ke dalam 3 (tiga) golongan yaitu golongan Bumiputera/Pribumi, golongan Eropa dan golongan Timur Asing. Dalam masalah waris, perspektif Islam bukan saja merupakan proses penerusan atau pengoperan hak dari seseorang terhadap keturunannya, melainkan juga merupakan ibadah yang pihak-pihak penerima warisnya telah ditentukan. Untuk sebagian hukum keluarga dan hukum waris yang belum mendapat pengaturan dalam undang-undang khusus (UU No. 1 Tahun 1974) maka Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) masih diberlakukan yaitu bagi golongan Eropa dan Timur Asing Tionghoa. Walaupun penggolongan penduduk telah dihapuskan oleh Instruksi Presidium Kabinet tersebut, namun di dalam prakteknya “penggolongan penduduk” untuk bidang hukum tertentu tidak dapat dihindari. Instruksi
Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966 tersebut juga menyatakan, bahwa penghapusan golongan-golongan penduduk tersebut tidak mengurangi berlakunya ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan,
warisan dan ketentuanketentuan hukum perdata lainnya. Dengan lain perkataan, dari Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Instruksi tersebut dapat disimpulkan, bahwa “mengenai sebagian ketentuan hukum perdata dibidang perkawinan (kecuali yang telah diatur dalam UU Perkawinan), dan warisan masih diberlakukan KUHPerdata bagi sebagian penduduk Indonesia.